Rilis GKIA
Susu Kental Manis Bukan Bagian Asupan Gizi Seimbang
Download Rilis pdf
Menanggapi pemberitaan tentang “sosialisasi” (promosi) Susu Kental Manis sebagai salah satu sumber gizi masyarakat Indonesia oleh Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr. drg. Amaliya bersama artis Melaney Ricardo. Dengan ini Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) memandang perlu memberikan informasi faktual kepada masyarakat sebagai berikut:
-
Susu Kental Manis (SKM) merupakan produk turunan susu yang mengandung kadar gula tinggi. Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) 01-2971-1998 Susu Kental Manis adalah “produk susu berbentuk kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari susu segar atau hasil rekonstitusi susu bubuk berlemak penuh, atau hasil rekombinasi susu bubuk tanpa lemak dengan lemak susu/lemak nabati, yang telah ditambahj gula, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan”. Kandungan gula pada SKM menurut ketentuan SNI adalah 43-48%, yang merupakan gula yang ditambahkan. Jadi, SKM sama sekali tidak bisa ditempatkan sejajar dengan ‘susu’ sebagaimana dipahami secara umum.
-
Promosi konsumsi susu dalam kerangka percepatan perbaikan gizi berisiko membahayakan kesehatan anak karena cukup tingginya prevalensi intoleransi laktosa akibat konsumsi susu dikalangan anak-anak di Indonesia, di samping risiko kejadian alergi susu, serta risiko kontaminasi susu yang tidak ditangani dan disimpan secara tepat yang berdampak pada kejadian penyakit yang dihantarkan melalui makanan.
-
Mengapresiasi apa yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Ibu Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp. M (K) yang menyatakan “Mencukupi gizi anak-anak di Indonesia tidak harus melalui susu. Ada makanan lain yang memiliki gizi sama dengan susu, tetapi pasokannya jauh lebih berlimpah untuk mencukupi kebutuhan seluruh anak di Indonesia. Makanan tersebut tidak lain adalah ikan.” Apa yang disampaikan oleh Menkes RI merupakan upaya yang lebih realistis dengan kondisi di Indonesia dan tentunya lebih tepat dipromosikan ke masyarakat.
-
Pemahaman tentang susu di kalangan masyarakat juga beragam. Susu bubuk dipasarkan dalam kadar ‘pemanis’ yang berlebihan, yaitu 3,5-12 gram per saji (100 mg). Kadar ini melanggar rekomendasi konsumsi gula tambahan untuk anak berusia di bawah 2 tahun dan melewati batas konsumsi gula untuk anak berusia di atas 2 tahun yang tidak boleh melebihi 6 sendok teh (25 gram) gula tambahan per hari. Susu kental manis yang tinggi gula pun banyak dikira oleh orang sebagai susu yang layak dikonsumsi bayi dan anak. Promosi konsumsi susu dalam kerangka percepatan perbaikan gizi dapat membuat masyarakat semakin kebingungan dan menganggap bahwa selama berwarna putih, maka yang diminum tetaplah susu padahal kebanyakan isinya adalah gula yang berdampak pada risiko penyakit metabolisme.
-
Konsumsi minuman dengan kadar gula sangat tinggi seperti SKM merupakan indikator asupan makanan yang buruk, karena merupakan konsumsi yang tinggi kalori. Kalori yang didapat dari gula memberikan nilai gizi yang rendah yang menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak sehat (WHO, 2018a).
-
Tingginya kadar gula pada SKM membuat produk ini tidak sehat untuk dikonsumsi terutama oleh balita, anak-anak dan remaja karena risiko kerusakan gigi, obesitas dan penyakit degeneratif yang akan terbawa sampai dewasa.
-
Banyak penelitian yang menemukan hubungan yang positif antara konsumsi minuman berpemanis dengan kenaikan berat badan pada anak-anak dan orang dewasa (Malik et al, 2013).
-
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan ada 8% balita yang gemuk, yang artinya ada sekitar 2 juta balita di Indonesia yang menderita kelebihan berat badan dan obesitas. Ini merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan karena anak-anak dengan kelebihan berat badan dan obesitas memiliki risiko tinggi mengalami masalah kesehatan pada masa dewasa seperti diabetes, tekanan darah tinggi, asma dan gangguan pernapasan lainnya, gangguan tidur dan penyakit hati.
-
Anak dengan kelebihan berat badan juga menderita berbagai masalah psikologis seperti kepercayaan diri yang rendah, depresi dan mengalami perundungan serta isolasi sosial (WHO, 2018b).
-
Selain itu, konsumsi minuman berpemanis juga meningkatkan risiko karies gigi yang berakibat meningkatnya kesakitan pada anak, kecemasan, rendahnya kehadiran di sekolah dan pencapaian akademik (WHO, 2018b). Kegemukan dan meningkatnya risiko berbagai macam penyakit termasuk tingkat kesakitan dan disabilitas akan terbawa sampai dewasa.
-
Beban penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia saat ini sudah menunjukkan kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke tujuh untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia, dengan jumlah estimasi penderita diabetes sebanyak 10 juta orang. Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Sementara kelebihan berat badan dan obesitas, yang merupakan faktor risiko terbesar diabetes terus meningkat. Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan tingkat kegemukan dan obesitas pada penduduk diatas usia 18 tahun mencapai 35.4%, meningkat secara signifikan dibandingkan tahun 2013 yang “hanya” 26.3%. Hal ini berarti 1 dari setiap 3 orang dewasa di Indonesia saat ini menderita kegemukan dan obesitas, sehingga meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif secara signifikan sangat mungkin terjadi.
-
Data Riskesdas 2013 menunjukkan lebih dari 50% penduduk usia diatas 10 tahun mengkonsumsi makanan atau minuman manis lebih dari 1 kali dalam sehari.
-
Dari hasil asesmen bersama Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Helen Keller International di Kota Bandung tahun 2018, ditemukan bahwa dari 500 anak usia 6-35 bulan, 50 diantaranya mengonsumsi SKM sehari sebelum dilakukan wawancara. Pada kelompok umur ini juga ditemukan konsumsi minuman dan makanan berpemanis yang tinggi yaitu susu berpemanis (33%), teh berpemanis (10%), biskuit manis (57%) serta konsumsi tambahan asupan gula (22%).
-
Maraknya promosi makanan-minuman olahan siap saji mempengaruhi pola orang tua dalam memberikan asupan pada anaknya. Orang tua menyatakan bahwa sumber informasi tentang cara pemberian makan bagi bayi dan balita berasal dari tenaga kesehatan (40%), anggota keluarga (26%), dan yang terbanyak justru dari media massa (44%). Di Kota Bandung, hanya 2 dari 100 ibu batita yang menyatakan belum pernah melihat iklan makanan ringan. Sebanyak 20% responden menyatakan pernah melihat promosi makanan-minuman ringan di fasilitas kesehatan.
-
Dari salah satu penelitian terbaru, disebutkan anak-anak yang terpapar dengan minuman tinggi kalori dan rasa manis sejak usia pra sekolah cenderung menolak makanan lain. Dengan demikian, mustahil kelengkapan gizi seimbang khususnya pemenuhan sayur dan buah dapat menjangkau kebutuhan anak di usia tumbuh kembang.
-
Beberapa studi telah menjelaskan peranan, pengetahuan dan perilaku orang tua dalam memilih dan memberi makan anak-anaknya sejak usia dini amat mempengaruhi pilihan makanan mereka di kemudian hari.
-
Pemasaran produk konsumsi makanan dan minuman bukan hanya memberi dampak pada orang tua, justru preferensi anak juga terpengaruh dengan semakin banyaknya paparan komersial, sebagaimana tujuan produsen – sedangkan anak-anak belum mempunyai kemampuan untuk memilah dan memahami kebutuhan gizinya sendiri.
-
Malnutrisi dan masalah ketidakseimbangan pangan telah menjadi ancaman besar terhadap tumbuh kembang anak di sepanjang sejarah berbagai bangsa. Praktik pemberian makan yang tinggi kalori, tapi miskin nilai gizi masih terjadi bahkan kian merebak akibat pemahaman yang salah dan komersialisasi berlebihan.
-
Studi membuktikan bahwa perbaikan atau perburukan pola konsumsi anak berhubungan timbal balik dengan pola makan keluarga secara keseluruhan. Anak-anak dengan kualitas konsumsi asupan nutrisi yang baik juga akan memberi dampak terhadap orang dewasa serumah, dengan demikian praktik pemberian makan/minum di usia dini mempengaruhi status gizi suatu bangsa secara keseluruhan.
-
Dari hasil penelitian yang cukup besar di Inggris ditemukan fakta bahwa orang tua mempunyai kesadaran terbatas tentang regulasi promosi/iklan makanan dan minuman bagi anak, sehingga menimbulkan tuntutan agar para pengiklan tidak diijinkan menyebut klaim kesehatan atas suatu produk apabila mengandung hal-hal yang membuat produk mereka tidak sehat (tinggi gula, garam dan lemak). Di Indonesia, terdapat kesenjangan literasi orang tua yang amat tidak berimbang. Orang tua di daerah perkotaan saja belum tentu paham tentang bahaya kelebihan gula dalam asupan nutrisi anak, apalagi mereka yang tinggal di pelosok.
Dari 20 fakta di atas, GKIA memberi 10 rekomendasi sebagai berikut:
-
Penting bagi kita semua untuk membentuk pola makan sehat dalam keluarga yang tentunya dimulai dengan memberi arahan tentang pola makan yang baik dan benar pada anak-anak sejak dini sebagaimana telah dipaparkan dalam tumpeng gizi seimbang. Gula adalah produk berkalori dengan kandungan gizi kosong yang menempati puncak tumpeng gizi seimbang, yang artinya perlu dibatasi jumlah asupannya. SKM adalah salah satu produk industri dengan kadar gula yang amat tinggi (43-48%). Artinya, SKM adalah produk yang harus mendapat batasan jelas dan tidak bisa dikategorikan sebagai asupan gizi seimbang apalagi ditujukan bagi anak yang sedang tumbuh kembang.
-
Peranan orangtua sangatlah penting untuk bisa membentuk pola makan gizi seimbang. Untuk menjalankan peran tersebut, orang tua harus mendapatkan informasi yang benar dan jujur tentang produk asupan makanan dan minuman khususnya bagi anak yang sedang tumbuh kembang.
-
Dibutuhkan perlindungan pemerintah dan pelaksanaan aturan serta undang-undang yang sudah ada terkait promosi dan diseminasi informasi untuk tidak memberikan pemahaman yang salah atau setengah-setengah hingga memberikan asumsi yang salah dan dikaitkan dengan gizi seimbang.
-
Kami mendesak pemerintah untuk lebih meningkatkan literasi publik terkait konsumsi gula yang berlebih serta dampaknya bagi tumbuh kembang anak serta kesehatan masyarakat.
-
Tenaga kesehatan dan akademisi sudah waktunya memperhatikan isu konflik kepentingan saat memberikan pernyataan dan melakukan riset demi masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. Sangat memprihatikan jika obyektivitas pendapat ahli dan hasil penelitian menjadi bias akibat adanya kepentingan lain di luar ilmu itu sendiri.
-
Mendukung pengentasan stunting dan kampanye Isi Piringku, GKIA menghargai upaya pemerintah yang selayaknya tidak boleh digagalkan dengan sabotase komersial yang semata-mata ditujukan untuk peningkatan penjualan produk tanpa mengindahkan dampaknya di masa depan terutama bagi generasi yang sedang tumbuh.
-
Sudah waktunya semua pihak yang menginginkan bonus demografi kita diisi oleh usia produktif yang bermutu untuk turut mengajak seluruh masyarakat mampu secara bijak dan etikal menyikapi pemasaran produk pangan dan minuman, bahkan mendukung kebijakan yang suportif demi terpenuhinya hak anak untuk memperoleh asuhan nutrisi yang bertanggungjawab sekaligus perlindungan atas pemasaran produk di luar kebutuhan dasar hidupnya.
-
Dengan rilis rangkaian video GKIA #makanbener ke masyarakat sejak bulan Agustus 2018 lalu, bentuk kampanye serupa bisa juga diangkat juga oleh pemerintah untuk mampu memberi imbangan informasi asupan makanan dan minuman yang benar dan tidak berat sebelah.
-
Khusus untuk SKM, perlu adanya regulasi jelas yang melarang kutipan SKM disetarakan dengan susu.
-
Sudah waktunya seluruh aparat jajaran pemerintah baik penentu kebijakan maupun pelaksana lapangan operasional mempunyai pemahaman yang jelas tentang peraturan, regulasi dan undang-undang terkait – sehingga mampu melaksanakan amanat dan saling mengingatkan serta memberi masukan apabila terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan kewenangan serta etika yang terlangkahi.
Jakarta, 5 Desember 2018
Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak
Frenia Nababan
Koordinator Presidium GKIA
Narahubung:
Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum drtan@indo.net.id
Nia Umar S. Sos, MKM, IBCLC nia@aimi-asi.org
dr. Dian N Hadihardjono, M. Gizi dhadihardjono@hki.org
Airin Roshita, MSc, PhD airin.roshita@gmail.com
Referensi
https://www.jawapos.com/kesehatan/health-issues/27/11/2018/bunda-harus-peduli-isu-gizi-buruk-termasuk-melaney-ricardo
Badan Standard Nasional (BSN). SNI 01-2971-1998: Susu Kental Manis.
Malik, V.S., Pan, A., Willett, W.C., Hu, F.B. 2013. Sugar-sweetened beverages and weight gain in children and adults: a systematic review and meta-analysis. Am J Clin Nutr; 98:1084–102.
WHO. 2016. Diabetes: Fakta dan Angka. http://www.searo.who.int/indonesia/topics/8-whd2016-diabetes-facts-and-numbers-indonesian.pdf Last accessed Nov 2nd, 2018
WHO. 2018a. Reducing consumption of sugar-sweetened beverages to reduce the risk of childhood overweight and obesity. https://www.who.int/elena/titles/ssbs_childhood_obesity/en/ Last accessed Nov 2nd, 2018.
WHO. 2018b. Reducing free sugars intake in children to reduce the risk of noncommunicable diseases. https://www.who.int/elena/titles/free-sugars-children-ncds/en/ Last Accessed Nov 2nd, 2018.
De Cosmi V, Scaglioni S, Agostoni C. Early Taste Experiences and Later Food Choices. Nutrients. 2017 Feb 4;9(2). pii: E107. doi: 10.3390/nu9020107. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28165384
Benton D. Role of parents in the determination of the food preferences of children and the development of obesity. Int J Obes Relat Metab Disord. 2004 Jul;28(7):858-69. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15170463
Ariel Chernin. The Effects of Food Marketing on Children's Preferences: Testing the Moderating Roles of Age and Gender. https://doi.org/10.1177/0002716207308952
Lovelace S, Rabiee-Khan F.Food choices made by low-income households when feeding their pre-school children: a qualitative study. Matern Child Nutr. 2015 Oct;11(4):870-81. doi: 10.1111/mcn.12028. Epub 2013 Jan 16.
Office of Communication. Childhood obesity – food advertising in context.
https://www.ofcom.org.uk/__data/assets/pdf_file/0020/19343/report2.pdf
Helen Keller International, Kementerian Kesehatan RI. Praktik Pemberian Makan Bayi dan Batita di Kota Bandung. 2018.